01/09/10

INSPIRING WOMEN : Ibu HJ Endang Yuli Purwati

Nih cuy artikel pertama yg mau ane share adalah tentang : IBU ENDANG YULI PURWANTI
Ane sengaja menjadikan artikel tentang bu yuli ini jadi artikel yg istimewa, jadi artikel pertama kali yg ane post, karna jujur aja ane kagum sama beliau..
karna beliau merupakan sosok yang sangat di luar biasa di mata ane cuy, knp bgtu ane kagumi? karna beliau sosok yg begitu nyata, sosok nyata seorang ibu yg sangat peduli terhadap anak2 di zaman seperti ini yg kebanyakan orang sibuk dengan urusan dunia.
ada banyak hikmah dan hal menarik yg bisa ane ambil dari rumah beliau salah satunya yaitu, setiap ane ke rumahnya, rumahnya dengan bisu mengingatkan ane untuk senantiasa selalu bersyukur atas semua keadaan yg ane alami, rumahnya bagi ane bisa jadiin pembangkit keimanan ketika ane sedang futur, mantep benerdahahah..
rumahnya aja udah banyak memberikan banyak hikmah dan hal yg menarik bagi ane, apalagi yg punya rumahnya?
kepribadian, sifat beliau dan setiap kata2 beliau sangat lah menarik bagi ane..
entah mengapa setiap beliau berkata-kata, selalu 'mengena' di hati ane, bagi ane setiap cerita yg beliau lontar kan adalah mutiara..
beughh ceritanya mantep banget lah cuy, terutama cerita tentang pengalaman, riwayat hidup beliau dan cerita tentang asal usul anak2 beliau..
dan perilaku beliau yg paling ane kagumi adalah perilakunya beliau yg tidak pernah ngeluh!
Subhanallah..
Beliau lah yg menginspirasi ane untuk tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun, karna Allah tidak mungkin memberikan cobaan yg ga sanggup kita hadepin,betul?
(geus ah curhatna sakitu we, saeutik we mun loba2 engke jadi alay akkaka)
nih ada segelintir cerita tentang ibu kita yg tercinta

“Anak Siapapun, Mereka Mutiara – Mutiara Ciptaan Allah”
Endang Yuli Purwanti

Tahun 2001, saya hendak melahirkan anak keempat. Saat itu, usia saya menginjak  42 tahun. Angka yang memiliki risiko tinggi untuk melahirkan anak. Ditambah lagi, saya berada  dalam kondisi yang kurang baik. Karena pada saat saya melahirkan anak ketiga, saya sempat  kritis dan mengalami koma akibat serangan asma. Selain itu, sebelum hamil anak keempat ini saya pernah jatuh yang mengakibatkan tulang ekor saya retak. Sebelumnya dokter menyarankan  kepada saya untuk menghindari kehamilan karena akan membuat saya lumpuh. Tapi ternyata, Allah  memiliki kehendak lain. Tiga tahun kemudian saya hamil lagi.

Begitu tahu saya hamil, suami dan anak-anak saya panik. Apalagi anak kedua saya. Katanya dia takut punya ibu tiri. Waktu itu, dia masih duduk di bangku SD. Dia melihat salah seorang temannya yang punya ibu tiri menjadi tidak terurus dan sering dimarahi. Saya kumpulkan anak- anak di ruang tamu. Saya bicara pada anak-anak, bahwa mereka harus senang punya  adik lagi. Dan kalau pun saya harus menghadap Allah, dan ayah mereka harus menikah lagi maka pasti ibu itu adalah orang yang baik karena ayah adalah orang yang baik.

Saya juga menanamkan tentang sikap ber-huznudzan (berbaik sangka) terhadap orang lain. Sebenarnya, saat menjelaskan itu, saya pun juga takut. Tapi ini harus saya sampaikan karena saya ingin sikap berpikir positif sudah tertanam dalam benak mereka sejak kecil. Sehingga, mereka akan terbiasa berpikir bahwa Allah sayang kepada mereka, dan Allah itu ternyata baik.

Pada usia menjelang 43 tahun, kekhawatiran dalam diri saya akan risiko kehamilan semakin menjadi. Tapi ada keyakinan  dalam diri saya, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan saya dan bayi dalam kandungan saya.  Karena itu ketika hamil pun saya masih melakukan berbagai macam aktivitas seperti mengajar,  memberi les kepada anak-anak, menyiapkan nilai, menyetir sendiri bahkan berenang pun masih saya lakukan. Alhamdulillah, selama 9 bulan kehamilan tidak ada kendala seperti yang  dikhawatirkan banyak orang.

Menjelang kelahiran, saya sudah pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah. Saat akan masuk  ke ruang operasi, tiba-tiba semua hapalan saya hilang. Dan hanya ada satu doa yang paling saya  ingat pada waktu itu, “Rabbi adkhilni mudkhola sidqi, wa akhrijni mukhroja sidqi waja’alli  milladunka sulthonan nashiira” (Ya Tuhanku, masukkanlah aku tempat masuk yang benar dan  keluarkan pula aku tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang  dapat menolongku). Berulang kali saya membaca doa itu. Usai operasi saya tidak merasakan sakit sama sekali. Saya dan suami pun heran, karena pada operasi sebelumnya saya sampai tidak bisa tidur.

Alhamdulillah, lahir dengan selamat anak keempat dengan jenis kelamin perempuan. Saya memberinya nama ‘Salsa’. Lengkap sudah kebahagiaan saya, dengan dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Ditambah lagi, kepala sekolah di tempat saya mengajar memberikan saya  kesempatan cuti selama 3 bulan. Padahal jatah cuti saya sudah habis saat anak ketiga lahir. Kepala sekolah memberikan saya waktu untuk kembali memulihkan tenaga.




Tentu saja, saya merasa sangat bersyukur kepada Allah. Tapi apa bentuk rasa syukur saya? Saya  teringat surat di dalam Al Qur’an yang berisi tentang rasa syukur. “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk  dirinya sendiri.” Dan di dalam Al Qur’an, Allah juga bilang, barangsiapa yang bersyukur maka akan ditambah nikmatnya.

Sebagai wujud syukur, saya mengadakan aqiqah putri keempat. tapi, setelah itu saya merasa masih ada yang kurang.

Ketika banjir yang melanda Jakarta pada tahun 2002, saya dan ibu-ibu majelis ta’lim  mengumpulkan dana untuk membeli obat-obatan untuk korban banjir. Pada saat banjir itu, saya  sering melihat di televisi banyak anak-anak yang terserang penyakit. Setelah melakukan aktivitas sosial itu, saya merasa masih ada yang kurang.

Pada saat nonton televisi itulah, saya seringkali melihat tayangan-tayangan berita kriminal. Ada banyak berita tentang bayi dibuang,  bayi ditemukan, atau bayi ditinggalkan orang tuanya. Semakin melihat, jiwa saya semakin tidak  tenang. Di situlah terpikir dalam benak saya untuk mengasuh mereka. Akhirnya saya minta izin kepada suami tentang keinginan saya itu. Tapi suami menggelengkan kepala. Sebenarnya bukan  tidak boleh, tapi waktu itu kondisi saya tidak memungkinkan. Saya harus berkonsentrasi mengurus Salsa, karena dia juga amanah.

Suatu hari, Salsa jatuh dari tempat tidur. Saya bawa dia ke paraji (dukun bayi) untuk diurut. Pada saat mengurut Salsa, paraji memberi tahu saya bahwa ada anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Saya minta izin pada suami untuk merawat anak itu, tapi suami tidak mengizinkan. Akhirnya anak itu dirawat oleh teman saya. Lalu saya dapat informasi lagi dari poliklinik, ada bayi yang ditinggalkan oleh ibunya. Saya minta izin suami untuk merawat bayi itu, suami tetap tidak meng-izinkan. Begitu terus sampai lima kali saya mendapat kabar tentang bayi yang ditelantarkan orang tuanya. Yang lebih menyakitkan hati saya, ada diantara anak itu yang masuk ke dalam panti asuhan non Muslim, padahal orang tuanya adalah seorang Muslim. Sesal memenuhi  dada saya. Tapi justru hal ini membuat saya semakin bersemangat untuk segera meng-asuh bayi- bayi terlantar itu.

Suatu waktu, saya bilang kepada suami saya bahwa sudah lima anak yang kita tolak untuk diasuh. Dan salah satunya masuk ke dalam panti asuhan non Muslim. Saya takut, jika nanti datang yang keenam dan ditolak juga, bisa jadi Allah nanti akan menghukum kita. Di televisi saja saya melihat orang menemukan bayi berebut untuk mengurusnya, kenapa kita tidak.

Suami saya yang seorang pembimbing jamaah haji berangkat ke tanah suci. Ketika akan  melakukan tawaf wada, suami mendapat tausiyah dari seorang ustadz bahwa Allah berada di tengah-tengah kaum dhuafa. Saat berputar mengelilingi Ka’bah suami berdoa, “Ya Allah  kalau memang Engkau berada di tengah-te-ngah kaum Dhuafa, dekatkanlah saya pada mereka.” Pada hari di mana suami berdo’a itu, saat itu juga saya mendapatkan bayi dari paraji. Karena waktu itu saya ke sana. Mengurutkan Salsa yang jatuh saat berlari-lari di sekitar rumah.

Di sini saya benar-benar merasakan bahwa Allah telah mengatur segala sesuatu sesuai dengan waktunya. Ketika saya mendapatkan bayi, saya tidak berani mengatakan kepada suami. Akhirnya saya hanya berani SMS. Lewat SMS itu, saya bilang ada tamu di rumah, dan Insya Allah membawa keberkahan.  Suami saya bertanya siapa tamunya. Saya diam, bi ngung menjawabnya. Saya mencari kata-kata yang  tepat untuk membalas SMS. Tiba-tiba SMS datang, ternyata dari suami saya. “Bayi ya?” tanya  suami.  Saya pun mengiyakan pertanyaannya.

Saat pulang, suami saya menanyakan keadaan bayi yang saya beri nama Muhammad Azzam. Setelah  digendong sebentar dan didoakan, suami saya memanggil saya ke kamar. Dia  mengatakan ada syarat yang harus saya penuhi jika ingin mengasuh anak-anak ini.

Yang pertama tidak boleh mengeluh. Kedua, tidak boleh minta sumbangan dan yang ketiga, harus adil antara anak kandung dengan anak asuh. Saya merasa itu bukan syarat yang mudah untuk saya jalani, tapi Insya Allah saya mampu untuk menaati syarat itu.

(Achmad Badawi Rifai, suami Endang Yuli Purwati atau yang akrab disapa Ummi Yuli ini  menjelaskan tentang latar belakang syarat yang diajukan kepada istrinya tersebut. Syarat yang  pertama, tidak boleh mengeluh. Menurut Badawi, butuh konsistensi untuk mengurus anak-anak.  Tidak bisa hanya sebentar. “Makanya butuh keikhlasan untuk melakukan ini. Karena batasan  keikhlasan seseorang itu adalah mengeluh,” ujarnya. Syarat yang kedua tidak boleh meminta sumbangan.  “Saya adalah pengurus suatu pesantren yang menampung anak-anak yatim piatu. Di sana saya  melihat dana merupakan masalah yang sangat krusial. Salah satu cara untuk mendapatkan dana  adalah dengan meminta bantuan. Saya tidak ingin, anak-anak ini tumbuh dari hasil meminta- minta,” tegas Badawi kepada Tarbawi. Selain itu menurutnya, meminta-minta belas kasih orang  itu sangat menyiksa batin, dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Syarat yang ketiga  adalah harus adil antara anak kandung dengan anak asuh. Badawi menjelaskan bahwa masalah adil  ini masih sangat sulit. “Hati saya bergejolak jika ada anak-anak yang tidak saya ikut sertakan makan di restoran,”ungkapnya. Badawi sendiri merasa yakin, bahwa istrinya akan mampu menjalani hal ini dengan memegang prinsip tersebut. “Saya tidak mungkin akan mengajukan syarat jika istri  saya tidak bisa menjalani,” papar pria berusia 55 tahun ini).

Alhamdulillah, saya benar-benar bisa menjalani ketiga syarat itu. Dan ternyata ada banyak hal  yang baru saya sadari dengan prinsip tersebut. Ternyata dengan kita tidak banyak mengeluh,  Allah telah memberikan saya banyak kemudahan. Mengeluh itu bagi saya adalah batasan orang yang  tidak sabar. Dan orang yang tidak sabar, akan jauh dari Allah. Innalaha ma’a ashabirin (sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar). Atau ketika saya berusaha untuk tidak  meminta-minta dalam keadaan apa pun. Rasulullah sendiri bilang tangan di atas lebih baik dari  pada tangan di bawah.

Saya masih berusaha keras untuk bisa berlaku adil kepada mereka.  Waktu itu pernah saya membuatkan susu untuk sembilan orang anak. Dengan takaran yang  sama, dan isi gelas yang sama. Semua gelas berwarna merah, tapi hanya ada satu yang berwarna  biru. Saya tidak menyangka bahwa anak-anak akan berebut mengambil gelas warna biru. Di sini  saya melihat, adil itu adalah sebuah kebutuhan. Semua anak ingin diperlakukan istimewa dengan  mengambil gelas warna biru. Ada banyak hikmah yang saya ambil dari anak-anak. Dan semuanya  mengalir begitu saja, tanpa saya harus membaca dan menghapal teori.

Pertama kali saya bertemu dengan Azzam, lalu Bakir, Saina dan Putri. Sampai sekarang paling tidak ada 16 orang anak asuh yang tinggal di rumah saya. Rata-rata usia mereka 6 bulan sampai 6 tahun. Dulu ada sekitar 20 orang anak, tapi ada orang tua yang datang meminta kembali anaknya. Ada diantara mereka yang lahir karena perkosaan, akibat pergaulan bebas dan kondisi perekonomian orang tua yang sudah tidak mampu.  Malah beberapa anak ada yang diantar sendiri oleh orang tuanya. Saya pun mensyaratkan foto kopi KTP dan surat nikah, agar mudah mengurus akte kelahiran anak-anak. Namun ada juga yang sampai sekarang tidak ada yang punya akte, karena saya belum ketemu dengan orang tuanya.

Ada yang pernah mengejek saya, mereka bilang saya orang gila karena mau mengambil anak-anak itu untuk diasuh. Ada juga yang bilang saya kurang kerjaan. Tapi tidak saya ambil hati perkataannya. Saya sengaja tidak memasang papan nama seperti layaknya penampungan anak, karena saya tidak mau anak-anak merasa tertekan. Dan rumah saya bukan panti asuhan.

Saya pernah berada dalam kondisi keuangan yang cukup mengkhawatirkan. Selama sekitar tiga tahun pertama merawat Azzam, gaji saya hanya Rp 600 ribu setelah dipotong hutang-hutang. Saya harus bisa kelola untuk membeli susu anak-anak saya semuanya. Saya benar-benar merasakan bahwa keluhan itu tidak akan pernah memperbaiki masalah, yang ada hanya menambah beban saja. Saya tidak boleh mengeluh, apapun kondisi-nya. Alhamdulillah, dengan begitu banyak bantuan dari teman-teman yang datang. Bahkan saya dipertemukan dengan sese-orang yang membuatkan saya rumah dua lantai di sebuah perumahan untuk tempat anak-anak berteduh. Saya benar-benar mensyukuri hal ini. Ditambah lagi, semenjak suami saya pensiun, kami mengelola beberapa rumah makan di Bandung. Ternyata memang benar, mereka anak-anak pembawa berkah.

Memang rumah saya tidak besar dan rasanya sulit untuk menampung semua anak-anak itu. Tapi dengan kebesaran hati, saya mampu meletakkan mereka hingga memenuhi rongga dada saya. Saya sudah tidak mikir lagi ini anak siapa asalnya dari mana, yang saya tahu mutiara-mutiara ini adalah ciptaan Allah. Dan tidak ada di  antara ciptaan-Nya yang sia-sia. Kalaupun suatu hari nanti mereka merasa disia-siakan, maka tugas kamiadalah mengarahkannya. Karena kita bertemu dari rasa syukur, maka saya akan  menanamkan padanya nilai-nilai syukur dengan cara yang mereka pahami. Karena saya ingin mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan tidak marah dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Dan yang bisa membuat mereka seperti itu adalah dengan mendidiknya sebaik mungkin dengan Al Qur’an. Alhamdulillah, banyak dari mereka yang sudah banyak hapalan Al Qur’an-nya.

Mendidik dengan anak-anak dengan Al Qur’an sudah jadi komitmen saya dengan suami. Misalnya, ketika mengajarkan mereka untuk tidak membuang-buang makanan. Saat mereka makan tidak habis atau tercecer, saya akan mengingatkan mereka untuk menghabiskan makanan, karena Allah tidak suka orang yang berlebihan.

(Ketika anak-anak diberi penjelasan oleh Yuli tentang tidak boleh membuang makanan, dua orang anak asuhnya yakni Azzam dan Saina langsung melafalkan dibarengi dengan isyarat isi surat di dalam Al A’raf ayat 31 yang berbunyi, “…kuluu wasrabu wa la tusrifu…” yang artinya makan dan minumlah kamu dan janganlah kamu berlebih-lebihan.).

Saya sama saja seperti ibu yang lain, akan kesal jika anak susah diatur. Tapi saya sangat berusaha keras untuk tidak memukul. Saya punya cara sendiri bagaimana menghukum mereka. Jika mereka susah diatur, saya suruh mereka duduk di kursi dan diam paling tidak 15 menit. Tidak boleh turun dari kursi dan tidak boleh bermain. Bagi seorang anak kecil yang naluri ingin bermainnya sangat kuat, tentu itu tidak mudah. Sebelumnya saya pun juga suka memukul dan mencubit, tapi setelah saya baca sebuah buku yang menceritakan tentang seorang anak kecil yang mengenang kembali memori masa kecilnya akibat perlakuan orang tuanya, membuat saya berhenti menggunakan tangan untuk menghukum mereka. Dulu saya pikir setelah kelahiran Salsa, saya akan berhenti menyanyi “cicak-cicak di dinding”. Tapi nyatanya sampai sekarang, saya masih tetap menyanyikan lagu itu. (tertawa).

Jika suatu hari mereka bertanya kepada saya tentang kondisinya saat ini, saya sudah menyiapkan jawabannya. Agar kelak mereka tidak marah dengan apa yang dilakukan orang tuanya. Saya tidak ingin memutus ikatan darah antara orang tua dan anak, saya ingin anak-anak tetap mencari keberadaan orang tua kandungnya. Apapun kodisinya. p

Seperti dituturkan Endang Yuli Purwati kepada Purwanti dari Tarbawi

di rumahnya di Kopo, Bandung.

Berikut nama anak2 ibu yuli :
Aki Galau Boemi
Junie Riantoe R
Muhammad Syaqib Asqolani Rifai
Rasyidah Nur Khairani Rifai
Bayu Ghulam Ahmad
Andika Pratama
Salsabila Nur Karimani Rifai
Muhammad Azzam
Putri Rachmawati Azzahra
Muhammad Baqir
Muhammad Daffa
Butsaina Azzahra
Risma Azzahra
Naurah Azzahra
M. Hilmi
Imtinan Azzahra

gmn cuy? mantepkan..
Semoga bermanfaat dan bisa mengispirasi cay cuy sekalian untuk jadi sosok yg lebih baik dan jadi sosok yg peduli terhadap anak2..
Di tunggu komennya tentang bu yuli, atau mau meninggalakan pesan, saran, masukan,kritikan silahkan di antos :D
Wassalam..

sumber :http://sekolahmenulistarbawi.com/?p=422

5 komentar:

Anonim mengatakan...

mayan lah .. :D

athrun_azzoe mengatakan...

subhanallah. bu yuli memang begitu mengispirasi..

ps: tambahin gadget lagi mas aril. *padahal yg saya juga belum haha

dawaisanda mengatakan...

bu yuli banggettzz.. subhanallah keren dan menarik..
siapa mas aril ?? -haha-

Unknown mengatakan...

mas aril GG
gile lengkap gni
cool

mochamad syafril mengatakan...

azz mas aril..
gara2 si ayu ini mah..

iya dong harus lengkap
seperti mencari akhwat harus yg komplit akkakak
cekidot juga cari akhwat = cari obat

Posting Komentar